Tuhan merestui apa yang kita lakukan tentang adat. Sepanjang ingatan tidak pernah orang terluka kena pisau waktu membagi-bagi namargoarna
Mengikuti perkembangan jaman: Gabe jala horas kadang-kadang diganti dengan Kabe jala horas, kalau yang berhajat sudah cukup banyak keturunan.
Karena sudah sore dan seorang memberi kata sambutan yang bertele-tele, umpasanya disambut dengan I pitaho
Umpasa memasuki Domino: Bintang narumiris tu ombun na sumorop, si lima tung riris, si onom pe tung torop
Awal kata sambutan ini kedengaran pada satu kesempatan:
Bapak Gubernur yang terhormat, atau yang mewakilinya; Bapak Walikota yang sangat kami muliakan, atau yang mewakilinya; Bapak Camat yang kami hormati, atau yang mewakilinya; para Bapak lurah yang tercinta, atau yang wakili; para hadirin, atau yang mewakili ….. .
_ Mana duluan muncul telur atau ayam?
+Telur
_ Ayam. Lihat kamus
Gambaran betapa tidak perdulinya kita atas sesama dan lingkungan.
Seandainya ada beberapa orang iseng, pakai seragam lengkap, bekerja waktu malam untuk memotong sebuah jalan untuk buat parit, seperti mau membuat jembatan, lengkap dengan plangkat “Maaf jalan anda terganggu. Ada perbaikan jalan!”. Mereka menyisakan sisa jalan hanya muat untuk satu mobil. Sampai berbulan bulan, keadaan jalan itu akan tetap seperti itu, dan sepanjang waktu itu juga tidak akan ada yang tau bahwa sudah ada yang berulah.
Setiap tukang punya kiat bagaimana mengikat para pelanggan: Umpamanya tukang bengkel langsung aja membongkar mesin yang akan diperbaiki, dan dilanjutkan entah minggu depan. Tukang jahit, langsung memotong-motong kain, entah kapan mau dilanjutkan. Atukang sol sepatu dan arloji begitu juga. Yang kasihan adalah tukang pangkas. Dia tidak bisa memangkas tanggung-tanggung, dan berkata: “Duduk dulu sebentar, kita lanjutkan lagi!” Dan dia melanjutkan dengan pelanggan lagi. Potong sedikit dan suruh istirahat.
Pernahkah kita perduli, kalau ada salaman,kita perhatikan siapa yang duluan menggoyang, yang menyalam, atau yang disalam?. Begitu juga kalau mengakhiri?
Molo halak Batak marpesta, seperti mengadakan jamuan makan sesudah pamasumasuon, na marulaon biasa jalan sambil menyapa para undangan yang sedang makan sambil berkata: “Silahkan makan apa adanya, Pak, Bu”; “Makan yang banyak, ya Pak”, Bu; dsb. Kebetulan pada sebuah kesempatan saya mengajak seorang turis ke suatu pesta seperti ini. Dia melihat ada orang yang keliling-keliling bicara pada tamu sambil menjulurkan tangan di tempat yang agak jauh dari tempat kani. Dia berbisik sama saya. Kasihan orang itu. Mungkin mereka tidak dapat makanan. Mereka minta-minta, tapi tidak ada yang mengasih. Kalaupun tidak ada yang mengasih tidak apa-apa, mereka bisa beli di luar. Nampaknya mereka orang berada. Pakai jas dan dasi.
Kenapa orang Tapanuli begitu mengeluhkan ketidakperdulian orang pada tata kerama paradaton. Kalau seseorang meninggal, maka harus dicari tulangnya, karena tulangnya harus hadir dalam acara penguburan. Di sini biasanya letak masalahnya. Tulangnya enggan datang dengan alasan: selagi hidup si bere jarang muncul, malah tidak pernah memberi khabar. Maka orang yang dianggap tulang tadi sering berdalih: “Ndang tulang ni namate au” (I am not a diseased’s uncle……)
Pernahkah kita berandai-andai? Sesudah capek mencari si tulang dari yang meninggal, dan tidak jumpa, kita kembali ke rumah duka dan membangunkan si bere sebentar: ”He, ngot jolo ho satongkin. Dang dapot tulangmu, boha namai?”
Mungkin dia akan menjawab: “Na godang do haroa karejom. Na so adong, na so adong ma i. Pahuddul ma disi!”